Kado Kecil untuk Dika
“Bu jangan lupa ya, kado ulang tahunku tahun ini. Tapi aku gak mau kadonya balon lagi.” Ucap seorang anak kecil di pagi buta kepada Ibunya.
Ibu tua itu hanya mengangguk lemah meski ia tak yakin bisa mengabulkannya. Pasalnya, penghasilan yang ia dapat sebagai penjual balon di Kebun Raya Bogor tidak semudah dulu. Ibu tua itu berjalan melewati pekatnya pagi tak berteman mentari dan menyusuri tiap sudut kota Bogor demi sebuah kado kecil untuk anak sulungnya.
“Kalau saja Bapak masih ada, mungkin tidak sesulit ini membelikan kado untuk Dika.” Rintih Ibu tua itu sambil sesekali menyeka sudut matanya mengenang almarhum suaminya. Ibu tua itu mengayunkan langkahnya dengan mantap tanpa memedulikan jarak yang harus ia tempuh untuk sampai ke Kebun Raya Bogor. Tekadnya bulat. Ia harus memberikan kado untuk Dika di tahun ini selain balon – balon yang dijualnya. Semburat merah jingga matahari yang mulai menyapanya pagi ini menambah semangat baru baginya. Hari ini ia membawa lebih banyak balon dari pada hari biasanya. Ia berharap balon – balon itu dapat habis terjual. Sehingga uangnya kelak akan cukup untuk membelikan Dika kado. Sebuah buku cerita. Ya, satu – satunya kado yang sampai saat ini sangat diidamkan Dika. Di usianya yang masih dalam proses belajar membaca, kado buku cerita pastinya akan menjadi kado terindah buat Dika. Sebuah senyum tipis terkembang di wajah Ibu tua itu membayangkan reaksi anaknya kelak.
Cuaca masih terasa sejuk sesampainya beliau di depan Kebun Raya Bogor. Peluh yang bercucuran di sekitar wajahnya hilang dibawa angin pagi yang masih menyisakan tetesan hujan tadi malam. Sambil menunggu jam buka, beliau memompa setiap balon – balon yang akan dijualnya kelak. Setiap angin yang memenuhi seluk balon tersimpan harapan yang besar dalam lubuk hatinya. “Semoga Sang Khalik memenuhi keinginanku mengabulkan permintaan Dika.”
Semua balon telah terpompa sempurna, tinggal bersiap menawarkan kepada seluruh pengujung. Jam buka tinggal setengah jam lagi. Menunggu waktu jam buka, Ibu tua itu istirahat sebentar sambil menikmati kemacetan yang mulai terjadi. Terlalu banyak siluet kehidupan yang terpampang di hadapannya. Salah satunya adalah seorang kakek tua yang sudah lemah berada di pinggir jalan terlelap tidur seperti tidak mengenal tempat. Kemiskinan selalu membuat keperihan di dalam hatinya. Banyak hal yang selalu menyekat kerongkongannya akan sebuah pertanyaan, dimana hati nurani para petinggi akan kemiskinan yang semakin merebak di negeri ini. Semenjak kematian suaminya karena terserang penyakit jantung beberapa hari setelah di PHK, ia banyak mengerti arti hidup yang sesungguhnya. Ia harus mampu menjadi dua figur sekaligus di mata anaknya. Lagi – lagi sudut matanya basah.
Pengunjung satu persatu berdatangan mengunjungi salah satu tempat wisata di Bogor ini. Ada pasangan muda – mudi, rombongan keluarga kecil hingga besar sampai rombongan dari sekolah yang sedang berlibur. Ia dengan sigap memanfaatkan momen ini untuk menawarkan balon jualannya. Masing – masing pengunjung memiliki gaya yang berbeda – beda dalam menolak tawaran Ibu tua itu. Ada yang menolak dengan perkataan halus, menggeleng pelan bahkan hingga pengunjung yang berpura – pura acuh tidak mendengar teriakan penawaran harga balon dari Ibu tua itu. Semua itu tidak langsung membuat semangat yang dimilikinya tadi pagi luntur seketika, malah semakin membuatnya bersemangat. Akan ada pembeli yang membeli semua barang jualannya, ucapnya dalam hati.
Matahari telah meninggi namun belum satu pun balon yang terjual. Ia berjalan dari sudut ke sudut mencari kesempatan sedikit saja. Menghampiri kerumunan orang – orang yang memenuhi taman di dekat café. Di dekat kolam, sekumpulan anak TK sedang berlari mengejar gurunya riang. Ia melangkah mendekati anak – anak itu. Anak – anak selalu menyukai balon, pikirnya. Tanpa membuang waktu banyak ia langsung mengambil kesempatan tersebut dan mencoba menarik perhatian. Anak – anak itu masih terfokus pada permainan gurunya, Ibu tua itu tetap setia menunggu saat mereka menoleh dan membeli walau hanya satu balon saja. Menarik perhatian anak – anak tidak semudah yang dibayangkan. Kini cara terakhir menarik perhatian mereka adalah dengan cara melepas beberapa balon ke arah mereka. Dan Hup… seorang anak menoleh lugu dan mulai memainkan balonnya. Sang guru berusaha menarik perhatian anak itu kembali namun anak itu menangis meminta untuk dibelikan balon. Ibu tua itu tersenyum simpul. Cara ini ternyata cukup berhasil. Beberapa anak lainnya turut meminta hal yang sama. Sang guru kewalahan membujuk permintaan anak muridnya dan akhirnya para ibu yang menemani anaknya mau tidak mau membelikan balon. Empat balon terjual sudah..
Suara adzan dzuhur menghentikan perburuannya. Ia berjalan ke arah mushola yang disediakan dan mulai membasuh air wudhu ke sekujur tubuhnya. Air yang mengalir, menyegarkannya kembali. Ayat – ayat suci mengalir lembut dalam tenangnya pengaduannya pada Sang Khalik. Tidak lupa ia panjatkan ribuan doa untuk kehidupannya dan anaknya kelak di masa depan. Doa penutup yang ia panjatkan adalah semoga Sang Khalik memudahkannya dalam mencari nafkah hari ini demi satu hal yang penting untuk anaknya. Sebuah kado kecil untuk Dika. Cukup sebuah agar anaknya bahagia. Perlahan wajahnya basah disertai sesenggukan yang tidak mampu lagi ia tahan.
Ibu tua itu kembali berjalan menyusuri Kebun Raya Bogor. Ia kembali menawarkan barang jualannya kepada pengunjung yang baru datang menyesaki tempat ini. Tidak peduli pada teriknya matahari yang berada tepat di atas kepalanya, tidak peduli pada tatapan tidak suka dari beberapa pengunjung yang memandang dirinya rendah karena berjualan balon keliling. Hanya satu yang ia peduli, wajah memelas anaknya tadi pagi yang telah menusuk hatinya seharian ini. Anaknya tidak pernah menuntut apapun darinya selama ini. Dika cukup mengerti keadaan yang menimpa ibunya setelah ditinggal mati oleh almarhum ayahnya tiga tahun lalu. Keadaan yang sangat sulit.
Dengan semangat, ia kembali meneriakan barang jualannya. “Balon..balon..siapa yang mau beli balon.. tiga ribu saja. Balon Mbak, Mas, Neng, buat anaknya Bu, Pak.. ayo beli balon. Adik mau beli balon?” teriaknya semangat. Tak sia – sia teriakannya yang lantang kali ini. Beberapa pengunjung tertarik membeli balon. Memang benar, do’a yang dipanjatkan dalam kekhusyukan selalu membawa berkah yang tak terkira. Saking sibuknya melayani permintaan pembeli, Ibu tua itu hingga tidak sempat mengelap peluh yang membasahi sekujur tubuhnya. Alhamdulillah, gumamnya pelan.
Waktu sudah menjelang petang. Sebentar lagi jam buka akan segera habis. Ibu tua itu merapikan barang jualannya yang sedikit berantakan. Ia melangkah menuju pintu keluar Kebun Raya Bogor. Tenggorokannya terasa kering sejak tadi siang. Dan air minum yang telah ia persiapkan dari rumah untuk mengirit pengeluaran telah lama habis. Tepat di samping sebelah kirinya, penjual es kelapa muda tampak sibuk melayani pembeli. Ia menelan ludah. Semua uang hasil kerja kerasnya hari ini hanya untuk kado Dika. Bagaimanapun ia tidak boleh memakai uang itu walau secangkir air minum.
Di pinggir jalan tidak jauh dari Kebun Raya Bogor, ia mulai menghitung semua hasil jerih payahnya hari ini. Seribu.. dua ribu.. tiga ribu.. dia mengelap peluh di keningnya. Keuntungan yang didapat hari ini lima ribu rupiah setelah dipotong biaya pembelian balon dan gas. Alhamdulillah... Ucapnya masih bersyukur dengan segala kekurangan yang ia dapati. Ia harus segera pulang sebelum tiba saatnya waktu menjelang tidur. Ia tidak ingin membiarkan Dika menunggunya terlalu lama. Ia berjalan berbeda dengan arah kepergiannya. Langkah kakinya ringan menuju toko buku yang berada di perempat jalan sekitar 5 km dari rumahnya. Melihat cahaya lampu yang masih menyala dari toko buku Senja yang akan ia datangi, menyiratkan sedikit kegembiraan dalam hatinya. Ia masih punya cukup waktu untuk memilih buku yang pantas untuk kado anaknya.
Puluhan buku terpampang rapi di dalam etalase toko. Hingga kebingungan melanda dirinya. Buku mana yang akan dibelinya. Ia kembali menghitung uang yang ada sebelum benar – benar memilih satu buah buku. Seribu.. dua ribu.. tiga ribu.. lima ribu. Kemudian, sebuah buku cerita di pojok ruangan menarik perhatiannya. Warna dan corak cover buku itu, sangat melambangkan sisi Dika, anaknya. Biru laut, ya Dika sangat menyukai warna biru laut. Warna yang menyiratkan ketenangan, setenang Dika yang selalu menunggu dengan sabar kado untuknya selama tiga tahun belakangan ini. Tangannya menggapai buku tersebut dan membaca sekilas isinya. Ia mengangguk tanda akan membeli buku itu. Ternyata harga yang tertera dalam sampul buku tidak sesuai dengan uang yang ia miliki. Huft, ia menghembuskan nafas lemah. Ia kembali harus mencari buku yang harganya sesuai dengan jumlah uangnya.
Setelah berkutat setengah jam, ia pun menemukan sebuah buku saku yang menceritakan tentang dongeng kancil. Dika pasti menyukai buku ini karena selain isi buku yang membuat geli pembaca, gambar di dalamnya menambah nilai plus buku itu. Terbayang di otaknya reaksi Dika kelak. Dika pasti akan sangat senang mendapatkan kado ini. Kado yang sudah tiga tahun diidamkannya. Ia tidak sabar lagi untuk segera pulang dan mendapati wajah riang anaknya.
Ia pun melangkah ke kasir untuk membayar belanjaan yang ia pilih. Sambil menunggu kasir mengetik belanjaan orang di depannya, sudut matanya menangkap seorang anak kecil yang terbaring lemah di depan toko. Melihat anak itu ia jadi teringat Dika. Ia berjalan mendekati anak kecil tersebut. Tubuhnya panas tinggi dan ia menggigil hebat. Tak ada seorang pun yang berniat menolong anak kecil itu. Semua bersikap acuh tak acuh pada kondisi yang terjadi pada anak itu. Muncullah rasa iba sebagai seorang ibu melihat seorang anak kecil menderita seperti itu. Ia tidak dapat membayangkan kalau Dika mengalami hal yang sama dengan anak ini. Ia tidak memiliki uang lagi kecuali uang yang akan ia bayarkan untuk membeli kado kecil untuk Dika. Ia menimang – nimang uang itu sambil sesekali memandangi anak kecil itu. Ia harus memilih, memakai uang itu untuk kado kecil Dika atau menolong anak kecil di depan toko…
Haruskah Dika kembali menunggu kado kecilnya tahun depan? Ibu tua itu menggeleng lemah. Atau haruskah ia bersikap acuh kepada anak yang terbaring menggigil ini di depannya? Ia tidak sanggup memilih. Batinnya sesak terhimpit pilihan yang sangat sulit.