Malam itu terdengar gemuruh gundah di
hati ibuku di ujung bangku sana. Ia mencoba menimang-nimang apa yang harusnya
ia lakukan atas apa yang terjadi padaku. Penolakannya terhadap hubungan
pacaranku dengan kekasihku yang tidak juga dilakukan olehku membuatnya gusar. Ini anak susah banget dibilang, mungkin
seperti itu yang ingin ia katakan. Tapi entahlah aku tak begitu tahu. Yang jelas
sepulang kekasihku dari masjid dan makan malam, ibuku membuka percakapan
tentang kelanjutan hubunganku dengan dirinya. Pertanyaan demi pertanyaan terus
meluncur dari mulut ibuku. Kekasihku mencoba tenang menjawab sambil sesekali
memandangku meminta bantuan. Apa kamu tak
menjelaskan semuanya?? Mungkin itu pertanyaan yang ia ingin lontarkan saat
itu. Tapi ditahannya dan masih terus beradu argument dengan ibuku.
Jika tak ingin menikah sekarang daripada pacaran mending enggak usah
hubungan dulu. Tegas
dan tak ingin dibantah. Tapi dengan keteguhan yang sama kuatnya, kekasihku
bilang kalau keluarganya baru membolehkanku menikah dengannya jika aku sudah
lulus kuliah dan kerja. Sedangkan jika tak ada hubungan dia juga gak mau,
terlalu rentan katanya. Oh lalaaaa…
Aku terdiam membisu. Musyawarah ini
berjalan alot. Tidak ada yang ingin mengalah. Semua tetap pada keinginan masing-masing. Hingga
percakapan berhenti ketika satu pertanyaan yang membuat ibuku membisu. Kalau nikah sekarang kuliahku siapa yang
bayar??
Kulihat ibuku kalah telak dan sedikit
sunggingan senyum di wajah kekasihku. Tapi ya Tuhan, aku bukan ingin berada di
salah satu pihak. Aku hanya ingin tahu kejelasannya. Malam itu juga kekasihku
pulang ke rumahnya di ujung pulau sana. Di perjalanan mengantarnya menunggu
bis, kami bertengkar. Aku lelah dengan semua permasalahan ini. Dia lelah dengan
paksaan ibuku. Tapi aku juga tahu maksud ibuku itu tak ada salahnya. Air mata
pun kutahan. Tak semudah yang dibayangkan. Menikah
itu perkara sulit kawan. Kita harus netral tak boleh berdiri di salah satu
pihak.
Esoknya, aku berbincang dari hati ke
hati dengan ibuku. Apa yang sebenarnya ia inginkan dan apa yang telah kekasihku
lakukan. Ibuku masih kuat dengan argumennya hingga akhirnya aku bercerita satu
hal yang terlupa dan ini penting kaitannya. Semua ini berkaitan erat dengan
kesalahanku di masa lalu. Ya, luka itu masih jelas menganga dan masih berada
dalam proses penyembuhan. Tak bisa cepat dan tak bisa dipaksa cepat. Semua butuh waktu. Begitu kata
kekasihku. Kepercayaannya padaku butuh waktu untuk dapat pulih semuanya. Sampai kapan?? Ingin ku berteriak
seperti itu. Tapi kutampar diriku sendiri. Salah
sendiri bikin salah ya rasakanlah semua ini. Ya ya ya… semua salahku dan
harus kutanggung. Kini aku mencoba melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan. Semoga
semua berjalan baik ke depannya. I wish.
Mendengar semua penuturan jujurku
ibuku kini lebih mengendurkan urat ketegangannya. Smeua ini salah anaknya dan
kini ia sedang merajut sebuah kisah untuk mengembalikan ke posisi awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mampir yuk..
kasih komen, saran, kritik, atau makanan juga boleh
^.^