Minggu, 23 Juni 2013

semoga jawaban ini benar

Teruntuk bapak yang kutemui di dalam kereta,

Malam itu, aku menempuh perjalanan pulang ke rumahku di bilangan kota metropolitan di sebelah barat sana. Kondisiku sebagai mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di tengah pulau membuat diriku jarang sekali bertemu dengan keluargaku, hanya sesekali saja jika sempat. Sebenarnya setiap bulan aku bisa saja pulang ke rumah sebentar sekedar melepas kerinduan yang terus menggerogoti jiwaku yang sepi. Namun sayang, aku harus menepis keinginanku demi pekerjaanku (lebih tepatnya kubilang hobi) sebagai penyiar menyita sebagian pikiranku setelah kuliah.
Singkat cerita, ketika ku cari tempat dudukku yang berada pada bangku nomor 8A, sontak aku mengerucutkan bibir. Seperti biasa, jika menggunakan kereta yang hanya transit di kota tempatku mengadu ilmu, pastilah orang yang sebelumnya telah lebih dulu naik akan duduk seenaknya jika terlihat tidak ada penumpang. Inilah aku, salah satu penumpang yang dikiranya tidak ada. Ia dengan pulasnya tidur dengan badan setengah selonjor dan suara ngorok yang terdengar meski tak terlalu keras. Seorang bapak yang duduk di depannya mempersilahkanku untuk duduk di sebelahnya karena belum ada yang menempati. Di tengah perjalanan, sang bapak yang tertidur pulas itu bangun dan melihatku masih memeluk tas ranselku yang besar.
“Tasnya taruh aja mbak, di atas atau di kolong. Kan berat masih jauh juga perjalanannya.”
Aku tahu ucapannya amat sangat benar. Tapi aku tidak membutuhkan nasihatnya itu, yang kubutuhkan hanyalah bangkuku yang ia tempati seenaknya sendiri. Aku sengaja memohon kepada penjual tiket agar menempatkanku pada bangku yang dekat jendela dengan alasan khusus. Aku akan terjatuh saat tertidur jika duduk dekat jalan orang lalu lalang.
“Buat nopang saya tidur pak biar gak jatuh.” Sahutku mencoba kalem.
Lelah dengan tidurnya, ia mengajakku bercerita.  Bertanya ini-itu seputar kehidupanku, masih pertanyaan umum sih. Terkadang ia menyelipkan sebuah guyonan yang kadang lucu atau dibuat lucu. Ya terserah bapak deh hahhaha…
Hingga pada sebuah pernyataan dalam dirinya yang mengandung sebuah tanya serta jawaban yang langsung ia sendiri menjawabnya. Sebuah jawaban yang menurutku kurang tepat. Entahlah, aku tidak ingin terlalu menggurui.
“Lah kamu ngapain kuliah jauh-jauh bukannya di kotamu ada universitas yang lebih bagus. Kamu gak diterima ya?” sial rutukku dalam hati.
Enggak semua orang berkeinginan kuliah di sana dan aku adalah salah satunya. Aku bosan dengan suasana perkotaan. Kangen dengan pegunungan dan ingin mendaki gunung, cita-citaku yang kini sudah kesampaian.
“Gak minat aja pak, nyarinya yang di kota seniman tapi gak dapet eh dapetnya disini.” Jawabku mencoba membela meski terselip kesedihan yang sudah tak sebesar dulu.
Ambisi tanpa pemikiran yang baik. Itulah kata-kata yang pantas mengingat kejadian 3 tahun lalu ketika aku berdiri tegak memilih universitas negeri yang ingin ku masuki. Keinginan yang terlalu tinggi tanpa melihat potensi dan kualitas diri membuatku terlempar begitu saja. Seleksi alam. Padahal sudah kutolak semua tawaran yang jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan universitasku kini yang kudapat hanya tangan kosong. Tak apalah, sebagai pelajaran.
“Lagian buat apa mbak kuliah, toh juga kebanyakan yang kuliah tidak akan bekerja pada bidangnya saat kuliah. Banyak yang keluar jalur. Bahkan kalo saya pikir-pikir dibandingkan dengan mahasiswa pertanian, pak tani jauh lebih tahu urusan sawah. Jadi untuk apa mbak kuliah?”
Aku tertegun, sisi hatiku ingin membantah tapi aku tahan. Takut dibilang sok pintar karena takut apa yang kukatakan salah. Kini setelah seminggu kata-kata bapak itu terus terngiang, aku baru menemukan jawabannya.
Kuliah itu bukan sekedar mencari pekerjaan baik. Kuliah itu melatih kita untuk bisa melatih kemampuan diri, bukan hanya segi pengetahuan tapi juga segi pergaulan, komunikasi serta cara pandang. Sebagai seorang perempuan banyak yang mengatakan tak perlulah sekolah tinggi-tinggi, toh juga akan mengurusi urusan rumah dan dapur saja. Pernyataan itu tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kewajiban seorang wanita setelah menikah adalah mengurusi anak dan berbakti pada suami. Tapi ingat, akan ada perbedaan antara wanita yang mengenyam pendidikan dengan yang tidak. Semua itu akan terlihat dari cara ia mendidik putra-putri mereka.  Memang sih tidak jarang orang yang biasa saja bisa membentuk anak-anak yang luar biasa tapi setidaknya sebagai seorang ibu kita bisa menjadi ilmu pengetahuan berjalan, tempat bertanya bagi anak-anak kita nanti. Sehingga ketika anak kita bertanya tidak ada lagi kata seperti
“Ibu gak tahu nak, ibu tidak mempelajarinya. Kau cari saja sendiri.”

Wah itu perkataan yang luar biasa besar dampaknya. Terlebih bagi diri sang anak. Karena selain belum tentu sang anak mendapatkan jawaban yang lebih baik dari lingkungan luar, bisa jadi sang anak jadi tidak berkembang secara optimal. Karena guru yang paling baik bagi anak adalah kedua orang tuanya. Kalau orang tuanya saja tidak bisa memberikan yang optimal bagaimana anaknya bisa tumbuh dan berkembang secara optimal??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mampir yuk..
kasih komen, saran, kritik, atau makanan juga boleh
^.^