Teruntuk bapak yang kutemui di dalam
kereta,
Malam itu, aku menempuh perjalanan
pulang ke rumahku di bilangan kota metropolitan di sebelah barat sana. Kondisiku
sebagai mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di tengah pulau
membuat diriku jarang sekali bertemu dengan keluargaku, hanya sesekali saja
jika sempat. Sebenarnya setiap bulan aku bisa saja pulang ke rumah sebentar sekedar
melepas kerinduan yang terus menggerogoti jiwaku yang sepi. Namun sayang, aku
harus menepis keinginanku demi pekerjaanku (lebih tepatnya kubilang hobi)
sebagai penyiar menyita sebagian pikiranku setelah kuliah.
Singkat cerita, ketika ku cari tempat
dudukku yang berada pada bangku nomor 8A, sontak aku mengerucutkan bibir. Seperti
biasa, jika menggunakan kereta yang hanya transit di kota tempatku mengadu
ilmu, pastilah orang yang sebelumnya telah lebih dulu naik akan duduk seenaknya
jika terlihat tidak ada penumpang. Inilah aku, salah satu penumpang yang
dikiranya tidak ada. Ia dengan pulasnya tidur dengan badan setengah selonjor
dan suara ngorok yang terdengar meski tak terlalu keras. Seorang bapak yang
duduk di depannya mempersilahkanku untuk duduk di sebelahnya karena belum ada
yang menempati. Di tengah perjalanan, sang bapak yang tertidur pulas itu bangun
dan melihatku masih memeluk tas ranselku yang besar.
“Tasnya taruh aja mbak, di atas atau
di kolong. Kan berat masih jauh juga perjalanannya.”
Aku tahu ucapannya amat sangat benar.
Tapi aku tidak membutuhkan nasihatnya itu, yang kubutuhkan hanyalah bangkuku
yang ia tempati seenaknya sendiri. Aku sengaja memohon kepada penjual tiket
agar menempatkanku pada bangku yang dekat jendela dengan alasan khusus. Aku akan
terjatuh saat tertidur jika duduk dekat jalan orang lalu lalang.
“Buat nopang saya tidur pak biar gak
jatuh.” Sahutku mencoba kalem.
Lelah dengan tidurnya, ia mengajakku
bercerita. Bertanya ini-itu seputar
kehidupanku, masih pertanyaan umum sih. Terkadang ia menyelipkan sebuah guyonan
yang kadang lucu atau dibuat lucu. Ya terserah bapak deh hahhaha…
Hingga pada sebuah pernyataan dalam
dirinya yang mengandung sebuah tanya serta jawaban yang langsung ia sendiri
menjawabnya. Sebuah jawaban yang menurutku kurang tepat. Entahlah, aku tidak
ingin terlalu menggurui.
“Lah kamu ngapain kuliah jauh-jauh
bukannya di kotamu ada universitas yang lebih bagus. Kamu gak diterima ya?”
sial rutukku dalam hati.
Enggak semua orang berkeinginan
kuliah di sana dan aku adalah salah satunya. Aku bosan dengan suasana
perkotaan. Kangen dengan pegunungan dan ingin mendaki gunung, cita-citaku yang
kini sudah kesampaian.
“Gak minat aja pak, nyarinya yang di
kota seniman tapi gak dapet eh dapetnya disini.” Jawabku mencoba membela meski
terselip kesedihan yang sudah tak sebesar dulu.
Ambisi tanpa pemikiran yang baik. Itulah kata-kata yang pantas mengingat kejadian 3 tahun lalu
ketika aku berdiri tegak memilih universitas negeri yang ingin ku masuki. Keinginan
yang terlalu tinggi tanpa melihat potensi dan kualitas diri membuatku terlempar
begitu saja. Seleksi alam. Padahal sudah kutolak semua tawaran yang jauh lebih
bagus jika dibandingkan dengan universitasku kini yang kudapat hanya tangan
kosong. Tak apalah, sebagai pelajaran.
“Lagian buat apa mbak kuliah, toh
juga kebanyakan yang kuliah tidak akan bekerja pada bidangnya saat kuliah. Banyak
yang keluar jalur. Bahkan kalo saya pikir-pikir dibandingkan dengan mahasiswa
pertanian, pak tani jauh lebih tahu urusan sawah. Jadi untuk apa mbak kuliah?”
Aku tertegun, sisi hatiku ingin
membantah tapi aku tahan. Takut dibilang sok pintar karena takut apa yang kukatakan
salah. Kini setelah seminggu kata-kata bapak itu terus terngiang, aku baru
menemukan jawabannya.
Kuliah itu bukan sekedar mencari pekerjaan baik. Kuliah itu melatih kita
untuk bisa melatih kemampuan diri, bukan hanya segi pengetahuan tapi juga segi
pergaulan, komunikasi serta cara pandang. Sebagai seorang perempuan banyak yang mengatakan tak
perlulah sekolah tinggi-tinggi, toh juga akan mengurusi urusan rumah dan dapur
saja. Pernyataan itu tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kewajiban
seorang wanita setelah menikah adalah mengurusi anak dan berbakti pada suami. Tapi
ingat, akan ada perbedaan antara wanita yang mengenyam pendidikan dengan yang
tidak. Semua itu akan terlihat dari cara ia mendidik putra-putri mereka. Memang sih tidak jarang orang yang biasa saja
bisa membentuk anak-anak yang luar biasa tapi setidaknya sebagai seorang ibu
kita bisa menjadi ilmu pengetahuan berjalan, tempat bertanya bagi anak-anak
kita nanti. Sehingga ketika anak kita bertanya tidak ada lagi kata seperti
“Ibu gak tahu nak, ibu tidak
mempelajarinya. Kau cari saja sendiri.”
Wah itu perkataan yang luar biasa
besar dampaknya. Terlebih bagi diri sang anak. Karena selain belum tentu sang
anak mendapatkan jawaban yang lebih baik dari lingkungan luar, bisa jadi sang
anak jadi tidak berkembang secara optimal. Karena guru yang paling baik bagi
anak adalah kedua orang tuanya. Kalau orang tuanya saja tidak bisa memberikan
yang optimal bagaimana anaknya bisa tumbuh dan berkembang secara optimal??