Kamis, 07 Juni 2012

jingga kelana



Jingga, entah mengapa kau berkelana dalam hamparan imajinasiku. Mewarnai hari-hari kelabuku dengan spektrum, warna lembutmu. Warna yang menenangkan bagiku.
Setenang setiap untaian kata yang kau tulis di setiap larik surat botolmu. Yang kemudian kau ombang-ambingkan di lautan lepas pantai hijau membiru. Tak tahu arah.
Hingga kawanan lumba-lumba mengantarkannya sendiri padaku. Padaku yang terdiam di bibir pantai. Kelabu.

Kau tahu, Jingga. Tak mudah bagiku menebak apa benar surat botol ini teruntuk diriku. Abu-abu memang karena kau lupa menuliskan nama teruntuk di dalamnya. Entah benar atau salah. Aku hanya bisa menebak, Jingga. Tak pernah pasti.

Aku memberanikan diri membalas untaian katamu. Melalui sehelai daun yang kutemui di bibir pantai. Melalui tinta yang tersendat. Melalui angan harapan  akan sebuahbalasan.
Aku tak yakin. Sungguh, tak yakin. Lautan itu maha luasnya. Dan, kamu yang entah berada di mana.

Tapi lagi-lagi kawanan lumba-lumba itu mengantarkan surat botol itu padaku. Bukan surat baru. Melainkan balasan kata-kataku. Dan, kini semua itu menjadi aktivitas baruku.

Jingga, lama kita tak berkirim kabar. Menuliskan sepatah dua patah puisi angin sore. Menemui kawanan lumba-lumba di bibir pantai. Yang menari riang kala aku mengerutkan wajahku hati-hati. Teramat hati-hati takut mengoyak daun kering temuanku. Daun yang kukirim untukmu.

Tangkapan ikan hasil nelayan ayahku bernasib baik. Dan, ibu memintaku membantu ayah. Memilah jenis ikan hingga menjualnya di pelelangan ikan tak jauh dari bibir pantai. Aku lupa kau di sana masih setia menunggu. Di pantai hijau membiru.

Menunggu apa? Aku tak tahu pasti. Lagi-lagi aku hanya bisa menebak.

Jingga, malam ini aku memandang hamparan langit yang kau lukis untukku. Kamu tahu bintang adalah ciptaan Tuhan yang paling kukagumi. Dan kini, kau lukiskan hamparan langit yang hitam mengkilap dengan jutaan bintang menari indah.

Aku tersenyum. Hingga aku tak bisa menahan tawa kecilku. Kau pintar sekali, Jingga. Membuatku tertawa.

Kau tahu, jingga. Sinaran cahaya bintang lukisanmu menggantikan lilin redupku malam ini. Jujur, aku memandang lukisanmu tak berkedip. Berharap kau lukiskan wajah kita berdua di sana. Wajah kau dan aku kala duduk bersama.

Kau tahu, malam itu aku masih tak percaya diajak kencan denganmu. Bagiku sih ini kencan tapi entahlah bagimu apa.

Tak ada setangkai mawar merah memang, puisi cinta apalagi ribuan lilin berbentuk I love You. Hanya kita berdua dan kue kesukaanmu.

Jingga, semburat senyumku pudar perlahan. Kau tahu kenapa? Karena kulihat bintang berhenti menari untukku. Ada gumpalan awan mendung di pojok kanvas langitmu. Perlahan menutupi ciptaan Tuhan yang paling kukagumi.

Awan hitam mengkilapmu dilahap seketika. Kini bintang yang kau ciptakan untukku hilang tak berbekas. Hanya abu-abu. Lukisanmu kini kelabu. Mataku masih tak dapat berkedip. Hingga aku tersadar ketika hembusan angin membisikkan kata-kata dalam jiwaku.
“Inikah cinta yang kau cari?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mampir yuk..
kasih komen, saran, kritik, atau makanan juga boleh
^.^