Jingga, entah
mengapa kau berkelana dalam hamparan imajinasiku. Mewarnai hari-hari kelabuku
dengan spektrum, warna lembutmu. Warna yang menenangkan bagiku.
Setenang setiap
untaian kata yang kau tulis di setiap larik surat botolmu. Yang kemudian kau
ombang-ambingkan di lautan lepas pantai hijau membiru. Tak tahu arah.
Hingga kawanan
lumba-lumba mengantarkannya sendiri padaku. Padaku yang terdiam di bibir pantai.
Kelabu.
Kau tahu,
Jingga. Tak mudah bagiku menebak apa benar surat botol ini teruntuk diriku. Abu-abu
memang karena kau lupa menuliskan nama teruntuk di dalamnya. Entah benar atau
salah. Aku hanya bisa menebak, Jingga. Tak pernah pasti.
Aku memberanikan
diri membalas untaian katamu. Melalui sehelai daun yang kutemui di bibir pantai.
Melalui tinta yang tersendat. Melalui angan harapan akan sebuahbalasan.
Aku tak yakin. Sungguh,
tak yakin. Lautan itu maha luasnya. Dan, kamu yang entah berada di mana.
Tapi lagi-lagi
kawanan lumba-lumba itu mengantarkan surat botol itu padaku. Bukan surat baru. Melainkan
balasan kata-kataku. Dan, kini semua itu menjadi aktivitas baruku.
Jingga, lama
kita tak berkirim kabar. Menuliskan sepatah dua patah puisi angin sore. Menemui
kawanan lumba-lumba di bibir pantai. Yang menari riang kala aku mengerutkan
wajahku hati-hati. Teramat hati-hati takut mengoyak daun kering temuanku. Daun yang
kukirim untukmu.
Tangkapan ikan
hasil nelayan ayahku bernasib baik. Dan, ibu memintaku membantu ayah. Memilah
jenis ikan hingga menjualnya di pelelangan ikan tak jauh dari bibir pantai. Aku
lupa kau di sana masih setia menunggu. Di pantai hijau membiru.
Menunggu apa? Aku
tak tahu pasti. Lagi-lagi aku hanya bisa menebak.
Jingga, malam
ini aku memandang hamparan langit yang kau lukis untukku. Kamu tahu bintang
adalah ciptaan Tuhan yang paling kukagumi. Dan kini, kau lukiskan hamparan
langit yang hitam mengkilap dengan jutaan bintang menari indah.
Aku tersenyum. Hingga
aku tak bisa menahan tawa kecilku. Kau pintar sekali, Jingga. Membuatku tertawa.
Kau tahu,
jingga. Sinaran cahaya bintang lukisanmu menggantikan lilin redupku malam ini. Jujur,
aku memandang lukisanmu tak berkedip. Berharap kau lukiskan wajah kita berdua
di sana. Wajah kau dan aku kala duduk bersama.
Kau tahu, malam
itu aku masih tak percaya diajak kencan denganmu. Bagiku sih ini kencan tapi
entahlah bagimu apa.
Tak ada
setangkai mawar merah memang, puisi cinta apalagi ribuan lilin berbentuk I love
You. Hanya kita berdua dan kue kesukaanmu.
Jingga,
semburat senyumku pudar perlahan. Kau tahu kenapa? Karena kulihat bintang
berhenti menari untukku. Ada gumpalan awan mendung di pojok kanvas langitmu. Perlahan
menutupi ciptaan Tuhan yang paling kukagumi.
Awan hitam mengkilapmu
dilahap seketika. Kini bintang yang kau ciptakan untukku hilang tak berbekas. Hanya
abu-abu. Lukisanmu kini kelabu. Mataku masih tak dapat berkedip. Hingga aku
tersadar ketika hembusan angin membisikkan kata-kata dalam jiwaku.
“Inikah cinta
yang kau cari?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mampir yuk..
kasih komen, saran, kritik, atau makanan juga boleh
^.^