Selasa, 13 November 2012

sindoro--di sini kulepaskan air mata bulan juni--

Setiap perjalanan memiliki kesan, begitu juga dengan perjalananku kali ini. Perjalanan menghilangkan kesedihan yang teramat dalam, kesedihan akan kesendirian menghadapi ribuan cobaan dan tantangan hidup di negeri orang serta kerinduan yang teramat dalam kepada keluarga yang sampai saat ini belum bisa aku tumpahkan. Beribu rasa terima kasih kuucapkan kepada setiap pihak yang membuatku nyaman dalam perjalananku kali ini. Orang-orang baru dan pengalaman baru. Aku seperti berada di dalam dimensi kehidupan lain. Mencoba menghilangkan kejenuhan dengan caraku sendiri. Menembus alam menggapai padang edelweis.
Semua perjalanan berawal dari curhatku kepada seorang teman. Air mata yang tak dapat kuperlihatkan kepadanya namun dapat ia rasakan. Bagaimana tidak? Aku yang terbiasa mandiri tanpa rasa rindu kepada keluarga, kini teramat sedih dan sendiri di kala aku menghadapi cobaan dari semua keruwetan birokrasi kampus yang semestinya ditanggung bersama sejumlah kawan seperjuanganku. Ia menawarkanku liburan singkat di kota kelahirannya, kota dingin dan sejuta surga. Awalnya aku ragu karena aku telah banyak kehilangan subsidi bulananku untuk acara kemanusiaan yang semestinya ditanggung kampus. Jujur kukatakan aku benci birokrasi di Indonesia.
Dengan bermodal rasa nekat dan putus asa kuputuskan malam itu juga untuk memulai perjalanan ini. Aku dibuat bangun pagi-pagi untuk menggapai bis yang kutumpangi, pergantian bis di tengah jalan karena bis "masuk angin", dan bercakap dengan seorang bapak yang menceritakan keahliannya memasak segala jenis masakan lalu meminta nomor hapeku setelah kuceritakan orang tuaku penjual nasi padang untuk menanyakan perihal bumbu masakan padang yang hingga saat ini dia belum mampu menyamakan rasanya. Di saat itu aku merasa tertekan, sebagai seorang wanita aku tidak terlalu pandai memasak sedangkan dia pandai. Haduh ckckkckckck.... Dan satu hal lagi, saat itu aku tak bisa memberikan nomor gsm-ku dan hanya kuberikan nomor esiaku yang jarang aktif. Maaf yak pak ^_^
Perjalanan sampai di rumahnya, kesan awal yang aku dapatkan pada kota itu hanya satu “Aku suka pemandangan di sini.” Andai aku bisa menemukan pemandangan seperti ini di kota pendidikanku. Cerita terus bergulir, aku mulai diperkenalkan dengan semua teman-temannya. Asik, kesanku pertama kali. Dan aku mulai menikmati kebersamaan ini yang hanya terbilang satu malam saja. Aku belajar membuat nasi kuning ala sederhana.
Di uji keberanianku dan kemantapan hatiku untuk menggapai padang edelweis dengan keenam orang lelaki dengan berbagai macam karakter tanpa temanku itu sendiri. Aku seperti tuan putri di antara mereka. Mereka sangat mengistimewakanku. Tetapi kembali pada jati diriku, aku tidak suka terlalu di manja. Di tengah rasa lelah aku terus melangkah menapaki bebatuan dan pasir di malam hari. Menembus angin yang begitu menusuk pernapasan serta tulangku. Terpaksa tidur di tengah perjalanan karena kencangnya badai danaku terus bertahan. Jangan mengeluh, itulah nasihat temanku sebelum berangkat. Karena angin tak kunjung mereda, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju padang edelweis jam 3 pagi. Kakiku sudah meronta untuk istirahat, badanku tak sanggup mengembalikan keseimbangan tapi semnagatku masih terus berkibar. Kini kupasrahkan segalanya dengan bermodal semangat dan tekad. Walaupun aku berusaha berbohong bahwa aku masih sanggup berjalan, para lelaki itu tahu aku memang tak sanggup berjalan dan memberi waktu untuk tidur lagi selama menunggu beberapa temanku yang masih tertinggal di belakang.
Setelah dirasa jarak puncak sudah dekat, mereka berjalan sendiri tanpa menghiraukanku. Sunrise di puncak yang menjadi tujuan utama dibatalkan karena memang sudah terlambat dengan gangguan angin kencang yang banyak menghabiskan waktu selama 2 jam. Pemandangan yang dihadirkan sebelum puncak kurasakan seperti berada di negeri di atas awan karena awan berada tepat di bawah kaki kita. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mulai berfoto. Puas berfoto-foto, kami langsung bergegas menuju puncak. Sesampainya di puncak, kami memasak lalu makan mengisi perut yang telah lama kosong. Angin tak juga berhenti berhembus dan membuat kami mengantuk apalagi tadi malam kami terjaga dan hanya tidur sebentar itu pun tak nyaman. Kami pun tertidur selama 2 jam dan bangun jam 10 pagi.
Lalu aku berfoto kembali mengibarkan bendera Matrapala. Melihat Sleeping Bag temanku dibiarkan tergeletak. Aku pun melanjutkan tidur sebentar lalu dibangunkan olehnya untuk siap-siap turun. Perjalanan turun dibagi menjadi 2 kelompok.
Aku berempat berjalan terlebih dahulu karena 1 orang temanku mengalami sakit pada kakinya dan harus dijaga oleh 2 temanku lainnya. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan 2 temanku yang tampak kebingungan. Ternyata temanku yang cedera menghilang. Setelah menunggu hampir 1 jam, dia pun ditemukan masih berada di dekat puncak karena berjalan perlahan dan banyak istirahat. Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan kembali menjadi 2 kelompok dengan formasi yang berbeda dari awal. Berhubung kaki telah letih untuk berjalan dan temanku menemukan ladang yang telah rusak dengan sengaja kami pun memutuskan meluncur turun seperti bermain perosotan di taman kanak-kanak hingga sampai seperempat jalan menuju pos 3. Di sana kami bertemu temanku yang tidak naik ke puncak untuk membawakan kami air minum. Sesampainya di pos 3, aku langsung merebahkan tubuhku untuk kembali beristirahat. Jam 3 sore temanku yang sakit baru sampai dan kami pun siap-siap untuk pulang. Esoknya aku pulang setelah diberikan uang transportasi yang tidak kupinta. Untunglahhh ^^
Seperti keberangkatan, mobil yang mengantarkanku mengalami mogok dan ganti bis sehingga menunggu 1 jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mampir yuk..
kasih komen, saran, kritik, atau makanan juga boleh
^.^