Senin, 19 November 2012
Selasa, 13 November 2012
sindoro--di sini kulepaskan air mata bulan juni--
Setiap
perjalanan memiliki kesan, begitu juga dengan perjalananku kali ini. Perjalanan
menghilangkan kesedihan yang teramat dalam, kesedihan akan kesendirian
menghadapi ribuan cobaan dan tantangan hidup di negeri orang serta kerinduan
yang teramat dalam kepada keluarga yang sampai saat ini belum bisa aku
tumpahkan. Beribu rasa terima kasih kuucapkan kepada setiap pihak yang
membuatku nyaman dalam perjalananku kali ini. Orang-orang baru dan pengalaman
baru. Aku seperti berada di dalam dimensi kehidupan lain. Mencoba menghilangkan
kejenuhan dengan caraku sendiri. Menembus alam menggapai padang edelweis.
Semua
perjalanan berawal dari curhatku kepada seorang teman. Air mata yang tak dapat
kuperlihatkan kepadanya namun dapat ia rasakan. Bagaimana tidak? Aku yang
terbiasa mandiri tanpa rasa rindu kepada keluarga, kini teramat sedih dan
sendiri di kala aku menghadapi cobaan dari semua keruwetan birokrasi kampus
yang semestinya ditanggung bersama sejumlah kawan seperjuanganku. Ia
menawarkanku liburan singkat di kota kelahirannya, kota dingin dan sejuta
surga. Awalnya aku ragu karena aku telah banyak kehilangan subsidi bulananku
untuk acara kemanusiaan yang semestinya ditanggung kampus. Jujur kukatakan aku
benci birokrasi di Indonesia.
Dengan
bermodal rasa nekat dan putus asa kuputuskan malam itu juga untuk memulai
perjalanan ini. Aku dibuat bangun pagi-pagi untuk menggapai bis yang
kutumpangi, pergantian bis di tengah jalan karena bis "masuk angin",
dan bercakap dengan seorang bapak yang menceritakan keahliannya memasak segala
jenis masakan lalu meminta nomor hapeku setelah kuceritakan orang tuaku penjual
nasi padang untuk menanyakan perihal bumbu masakan padang yang hingga saat ini
dia belum mampu menyamakan rasanya. Di saat itu aku merasa tertekan, sebagai
seorang wanita aku tidak terlalu pandai memasak sedangkan dia pandai. Haduh
ckckkckckck.... Dan satu hal lagi, saat itu aku tak bisa memberikan nomor
gsm-ku dan hanya kuberikan nomor esiaku yang jarang aktif. Maaf yak pak ^_^
Perjalanan
sampai di rumahnya, kesan awal yang aku dapatkan pada kota itu hanya satu “Aku
suka pemandangan di sini.” Andai aku bisa menemukan pemandangan seperti ini di
kota pendidikanku. Cerita terus bergulir, aku mulai diperkenalkan dengan semua
teman-temannya. Asik, kesanku pertama
kali. Dan aku mulai menikmati kebersamaan ini yang hanya terbilang satu malam
saja. Aku belajar membuat nasi kuning ala sederhana.
Di
uji keberanianku dan kemantapan hatiku untuk menggapai padang edelweis dengan
keenam orang lelaki dengan berbagai macam karakter tanpa temanku itu sendiri. Aku
seperti tuan putri di antara mereka. Mereka sangat mengistimewakanku. Tetapi kembali
pada jati diriku, aku tidak suka terlalu di manja. Di tengah rasa lelah aku
terus melangkah menapaki bebatuan dan pasir di malam hari. Menembus angin yang
begitu menusuk pernapasan serta tulangku. Terpaksa tidur di tengah perjalanan
karena kencangnya badai danaku terus bertahan. Jangan mengeluh, itulah nasihat temanku sebelum berangkat. Karena angin
tak kunjung mereda, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju padang
edelweis jam 3 pagi. Kakiku sudah meronta untuk istirahat, badanku tak sanggup
mengembalikan keseimbangan tapi semnagatku masih terus berkibar. Kini kupasrahkan
segalanya dengan bermodal semangat dan tekad. Walaupun aku berusaha berbohong
bahwa aku masih sanggup berjalan, para lelaki itu tahu aku memang tak sanggup
berjalan dan memberi waktu untuk tidur lagi selama menunggu beberapa temanku
yang masih tertinggal di belakang.
Setelah
dirasa jarak puncak sudah dekat, mereka berjalan sendiri tanpa menghiraukanku. Sunrise
di puncak yang menjadi tujuan utama dibatalkan karena memang sudah terlambat
dengan gangguan angin kencang yang banyak menghabiskan waktu selama 2 jam. Pemandangan
yang dihadirkan sebelum puncak kurasakan seperti berada di negeri di atas awan
karena awan berada tepat di bawah kaki kita. Kami pun tak menyia-nyiakan
kesempatan ini dan mulai berfoto. Puas berfoto-foto, kami langsung bergegas
menuju puncak. Sesampainya di puncak, kami memasak lalu makan mengisi perut
yang telah lama kosong. Angin tak juga berhenti berhembus dan membuat kami
mengantuk apalagi tadi malam kami terjaga dan hanya tidur sebentar itu pun tak
nyaman. Kami pun tertidur selama 2 jam dan bangun jam 10 pagi.
Lalu
aku berfoto kembali mengibarkan bendera Matrapala. Melihat Sleeping Bag temanku dibiarkan tergeletak. Aku pun melanjutkan
tidur sebentar lalu dibangunkan olehnya untuk siap-siap turun. Perjalanan turun
dibagi menjadi 2 kelompok.
Aku
berempat berjalan terlebih dahulu karena 1 orang temanku mengalami sakit pada
kakinya dan harus dijaga oleh 2 temanku lainnya. Di tengah perjalanan, kami
bertemu dengan 2 temanku yang tampak kebingungan. Ternyata temanku yang cedera
menghilang. Setelah menunggu hampir 1 jam, dia pun ditemukan masih berada di
dekat puncak karena berjalan perlahan dan banyak istirahat. Kami pun
melanjutkan perjalanan. Dan kembali menjadi 2 kelompok dengan formasi yang
berbeda dari awal. Berhubung kaki telah letih untuk berjalan dan temanku
menemukan ladang yang telah rusak dengan sengaja kami pun memutuskan meluncur
turun seperti bermain perosotan di taman kanak-kanak hingga sampai seperempat
jalan menuju pos 3. Di sana kami bertemu temanku yang tidak naik ke puncak
untuk membawakan kami air minum. Sesampainya di pos 3, aku langsung merebahkan
tubuhku untuk kembali beristirahat. Jam 3 sore temanku yang sakit baru sampai
dan kami pun siap-siap untuk pulang. Esoknya aku pulang setelah diberikan uang
transportasi yang tidak kupinta. Untunglahhh
^^
Seperti
keberangkatan, mobil yang mengantarkanku mengalami mogok dan ganti bis sehingga
menunggu 1 jam.
Hitam Putih
Hubungan kita
seperti percumbuan tanpa henti.
Sedikit yang
tahu tapi membekas sekali.
Aku salah
menorehkan luka pada orang-orang yang kita cintai.
Tapi kamu
menjalani segalanya dengan senang hati.
Sedangkan aku
terkungkung pada penyesalan dan kenikmatan sekaligus.
Menikmati desah
suara kita dalam kegelapan serta keringat yang menyatu.
Kemudian berdarah
seakan habis dihisap dalam satu waktu.
Aku mengecup
bibirmu dengan tangisan yang kau kira sebagai
bentuk gairahku dalam berhubungan.
Aku menangis
dan tersenyum dalam satu waktu.
Dan kamu
bahagia sepanjang hari.
Minggu, 04 November 2012
beri aku tempat, selamanya di sana
Cinta tak pernah menuntut balasan,
senja. Tapi dengan jahatnya aku meminta. Hingga memaksa hatimu yang semakin
meragu padaku. Mungkin kau ragu ketulusan cintaku. Aku bisa mengerti itu. Andai kenangan tak pernah menjadi
halangan hubungan kita. Akan
aku titipkan salam pada wanita yang dulu kau puja. Sekedar berkata cintaku
padamu tanpa jeda. Dan ucapan syukur sebesar-besarnya. Dia menganugerahkan
dirimu padaku. Kau pikir itu jahat? Tidak, senja. Kau harus dengar penjelasanku
terlebih dahulu. Jika aku bertemu denganmu lebih cepat sehari saja. Mungkin kini
hatiku masih hamparan sahara. Kau penyejuk di gersangnya rasa. Kau bagai pelita
di kelamnya gelap gulita.
Aku hanya ingin menetap dalam hatimu selamanya, jika kau
mengizinkan.
Langganan:
Postingan (Atom)