Sore ini aku melangkahkan kaki ke ujung pantai di dekat
rumahku. Sudah berbulan-bulan lamanya aku tak menyapa seseorang di ujung sana
yang menenangkan hatiku di kala gundah. Seseorang yang member tawa dalam hatiku
yang gelisah. Aku melangkah sambil melompat riang menginjakan kaki di bawah
daun kering yang berwarna coklat. Ah, coklat warna kesukaanku.
Aku melirik jam tangan lusuh pemberian ayah di pergelangan
kiri tanganku. Masih ada waktu satu menit sebelum akhirnya bertemu. Aku memilih
tempat yang sama, di waktu yang sama untuk menunggu orang yang sama. Sesekali
kakiku memainkan riak ombak yang menari-nari liar di betisku. Setiap detik
semakin liar dan terus menjadi ribut.
Aku mengangkat kaki dari ciuman ombak. Firasatku memburuk.
Tidak biasanya ombak kejam seperti itu. Tapi biarlah, mungkin dirinya sedang
gundah dan ingin menghempaskan emosinya hari ini. aku melipat kakiku silang.
Sambil bersiul pelan berusaha mematikan waktu yang terus meneriakan kebosanan. Aku kembali menatap pergelangan kiri tanganku. Jarum jam
begitu cepat berlalu dan seseorang yang kutunggu tak kunjung datang. Angin
berteriak padaku. Siapa yang aku tunggu selama ini? aku menjawab dalam
kesedihan. Aku menunggu senja, pangeran di ujung pulau sana. Angin mengabarkan
ada perayaan besar di pulau seberang dan kemungkinan senja datang itu pun
kandas. Aku pulang membawa tangan hampa. Aku pulang membawa kembali ceritaku
yang ingin kutumpahkan padanya. Karena entah emngapa hanya dengan senja aku
mampu berceriita segala hal. Tentang apa yang terjadi padaku, keseharianku,
hingga perasaanku yang semakin melekatkan namanya.
Keesokan harinya aku melakukan hal yang sama. Menunggu di
tempat yang sama, di waktu yang sama dan menanti kedatangan orang yang sama.
Ombak sedikit membisu kali ini. bahkan tak berani menari di kakiku yang sudah
terjulur di dekatnya. Sambil bersiul dalam suara yang semakin kecil, seekor
ikan mendekatiku heran. Siapa yang aku tunggu selama ini? aku menjawab bahwa
aku menunggu senja, pangeran di ujung pulau sana. Ikan itu berkata, bahwa
pangeran itu sedang mengembara ke pulau lain. Titah dari sang raja. Aku
terdiam. Menelan ludahku sendiri yang sudah kering.
Hatiku mulai bertanya namun masih kusimpan pertanyaan
untukku senndiri. Dan pulang adalah pilihan terbaik untuk menenggelamkan diriku
dari rasa khawatir yan menggebu. Kejadian ini terus berulang hingga 2 bulan
kemudian. Aku kembali menunggu dan kali ini ombak berteriak padaku. Untuk apa
kau menunggu? Senja yang dulu kau impikan tak akan datang kembali padamu. Kau
terlalu ribut, terlalu banyak meminta, terlalu banyak menuntut. Senja bosan
denganmu.
Aku tertunduk menahan air mata dari dua bulan lalu. Adakah
aku kembali menerima kepahitan yang selalu kuhindari? Adakah pertanyaan yang
selalu kutakutkan bahwa aku tak semenyenagkan seperti yang ia harapkan?
Benarkah aku bukan wakita yang membuatnya nyaman?
Ketakutan ini datang juga. Bahwa aku tak pantas mendapatkan
cinta dari siapapun. Cinta dari lelaki di desaku bahkan hingga ke pulau
seberang. Aku hanya akan menua sendiri dalam pekatnya malam dan rambut yang
terus beruban.
Kali ini aku memutuskan untuk tak pulang. Aku menunggu
hingga cahaya jingga menghilang dalam pekatnya malam. Membiarkan diriku dalam
tangis yang tak berkesudahan. Inikah akhir cerita cintaku?
Inikah akhir cerita
cinta
Yang selama ini aku
banggakan di depan mereka
Entah dimana
kusembunyikan rasa maluu